Home Blog Page 6

Memakmurkan Desa dengan Sentra Pemberdayaan Tani

6

Sentra Pemberdayaan Tani adalah sebuah model pemberdayaan tani secara utuh, yang dilakukan oleh Yayasan Obor Tani dengan memberikan hibah murni untuk desa senilai Rp 1,4 milyar. Di desa tersebut dibangun Sentra Pemberdayaan Tani, termasuk didalamnya waduk ini tadah hujan, kebun buah seluas 20 hektar, kebun pembibitan, asrama untuk pusat pemagangan petani, lengkap dengan Supply Center, Training Center dan Riset Center.

Satu Sentra Pemberdayaan Tani (SPT) sudah direalisasikan oleh Yayasan Obor Tani di tahun 2008, yaitu di Desa Genting, Kecamatan Jambu, Kabupaten Semarang. Di desa tersebut dibangunkan kebun buah dengan komoditas Lengkeng Itoh seluas 20,8 hektar, waduk mini tadah hujan dengan kapasitas 8.000 meter kubik untuk menyirami kebun buah petani peserta program, dengan total 4.000 pohon Lengkeng Itoh. Petani peserta juga mendapat bantuan sarana produksi pertanian berupa pupuk, pestisida selama 3 tahun. SPT Desa telah diresmikan oleh Gubernur Jawa Tengah, H. Bibit Waluyo pada tanggal 17 Januari 2009.

Petani peserta Sentra Pemberdayaan Tani di desa Genting sebanyak 126 kepala keluarga (KK), masing-masing KK menyerahkan lahan kosong mereka 500 – 2000 m2, untuk ditanami 20-40 pohon Lengkeng Itoh. Dua kader Obor tani selama 3 tahun tinggal di desa mendidik petani untuk berbudidaya mengelola lengkeng petani hingga menjadi kebun buah, untuk kemudian diserahkan kembali kepada petani. Setelah tanah yang sudah menjadi kebun buah diserahkan kembali kepada petani, diharapkan setiap KK petani bisa mempunyai penghasilan minimal Rp 12 juta/th atau Rp 1 jt/bulan dari 40 pohon lengkeng di atas tanah seluas 2000 m2.

Sentra Pemberdayaan Tani membudidayakan buah-buahan tropis unggul dengan bibit dan teknologi internasional terkini. Antara lain Lengkeng Itoh, Durian Monthong, Srikaya Grand Anona, Jambu Air Citra, Buah Naga Red Dragon, Kelapa Pandan Wangi dan lain sebagainya. Semua buah tropis unggul dari seluruh dunia ditanam di testing ground & kebun produksi di Agrowisata Plantera-Kendal, kemudian buah-buahan yang sudah terbukti sukses dibudidayakan, disebarluaskan ke petani dengan model Sentra Pemberdayaan Tani.

Tahun 2009 ini, Yayasan Obor Tani, akan membangun 5 desa di Jawa Tengah. Desa-desa di Jawa Tengah yang beruntung mendapatkan hibah CSR Sentra Pemberdayaan Tani tersebut adalah: (1) Desa Wonokerto, Kec. Bancak, Kab. Semarang, (2) Desa Karanganyar, Kec. Musuk, Kab. Boyolali, (3) Desa Ngasingan, Kec. Kaliwiro, Kab. Wonosobo, (4) Desa Labuhan Kidul, Kec. Sluke, Kab. Rembang. Di tahun 2009 ini, Yayasan Obor Tani, membangun Sentra Pemberdayaan Tani di 5 desa di Jawa Tengah. Satu desa lagi adalah Desa Seboro, Kec. Sadang, Kab. Kebumen yang dibiayai penuh oleh para donatur yang dikoordinir oleh Wakil Gubernur Jateng, Rustriningsih.

Bagi para petani yang ingin desanya men­da­pat hibah program Sentra Pemberdayaan Tani, dapat mengajukan proposal yang memuat tentang: Geografis (peta dan letak desa), Demografis (kependudukan, mata pencaharian dll.), Agronomis (tanaman yang ada saat ini, ketinggian tempat, dll.) ke:

Sekretariat Yayasan Obor Tani

Jl. Imam Bonjol 155, Gedung B-122 Semarang

Telp/Fax.: 024-3564319; e-mail: obortani@yahoo.com

Kepada perusahaan-perusahaan yang ingin menyalurkan kewajiban Corporate Social Responbillity (CSR) di bidang pertanian atau pedesaan, juga dapat mengirimkan data ke alamat tersebut, untuk kemudian kami kirimi DVD tentang bagaimana konsep memakmurkan desa dan petani dengan model Sentra Pemberdayaan Tani. (*)

PROPOSAL PERMOHONAN SENTRA PEMBERDAYAAN TANI dapat di download melalui :

http://www.4shared.com/document/ve1DzteY/PROPOSAL_PERMOHONAN_WADUK_MINI.html

Rekor! Durian Monthong Terberat di Indonesia: 13,8 Kg!

2

KENDAL-Tanah di Indonesia benar-benar subur. Jika dikelola dengan baik, maka bisa menghasilkan produk pertanian yang berkualitas tinggi. Salah satunya telah dibuktikan oleh PT. Cengkeh Zanzibar. Bersama kelompok petani binaannya di kebun durian Montong Desa Kalisidi Kabupaten Semarang, telah dihasilkan durian yang mungkin terberat di Indonesia.

Jika rata-rata berat durian yang di Indonesia 3-5 kilogram, durian yang kemarin dipamerkan di Agrowisata Plantera Ngebruk Desa Patean Kabupaten Kendal tersebut mencapai 13,8 kilogram. Panjangnya saja sekitar 60 sentimeter.

Pemilik PT Cengkeh Zanzibar sekaligus Agrowisata Plantera Budi Darmawan menjelaskan, durian tersebut sempat akan didaftarkan di Museum Rekor Indonesia (MURI), serta sudah ditanyakan kepada MURI berapa durian terberat di Indonesia. Ternyata di Indonesia belum ada durian seberat lebih dari 10 kg.

Tapi karena penetapan rekor disertai biaya administrasi yang tidak sedikit, maka pendaftaran rekor ke MURI tersebut dibatalkan. “Inilah durian terberat di Indonesia. Ini benar-benar produk dari petani Indonesia asli,” tutur adik kandung mantan menteri koordinator bidang perekonomian era pemerintahan Abdurrahman Wahid, Kwik Kian Gie ini.

Durian montong memang salah satu produk pertanian yang dihasilkan pada sejumlah kebun yang dimiliki Budi Darmawan. Bahkan di Agrowisata Plantera yang Sabtu (15/11) mulai soft launching, durian merupakan salah satu hasil pertanian yang banyak diserbu pengunjung.

Selain durian, di tempat ini pengunjung juga bisa menikmati buah-buah unggulan lain. Seperti lengkeng Itoh, buah naga Red Dragon, sirkaya Grand Anona, jambu air Citra, rambutan Binjai dan Rapiah. Di lokasi agrowisata seluas 120 hektare ini, pengunjung juga bisa berkeliling kebun buah dengan mobil wisata maupun jalan kaki. (ton/isk)

Dikutip dengan sedikit penyesuaian dari Harian Jawa Pos, Radar Semarang. Minggu 16 November 2008

Dipanen Durian Monthong Raksasa Indonesia: 13,8 Kg

37

Ukuran tak lazim varietas legendaris durian monthong asal Thailand baru saja berhasil dipanen di Plantera kebun buah Kalisidi Kecamatan Gunungpati Semarang. Tak tanggung-tanggung, komoditas buah yang memiliki produktivitas serta keawetan tinggi ini memiliki bobot 13,8 kilogram dengan lima juring. Berat ini tentu saja diatas rata-rata monthong normal yang kisarannya hanya 4-5 kg. Bahkan dari plantera milik pengusaha perkebunan Budi Darmawan ini, varietas monthong berukuran di atas standar paling hanya berbobot 11 kg, 9 kg, atau 7 kg.

Di atas lahan seluas 20 hektare ditanam 2.000 pohon durian monthong yang saat ini sudah produktif berusia 4,5 tahun hingga 7 tahun. Hasilnya, setiap kali panen bisa menghasilkan 20 butir sampai 54 butir per pohon. Jika per kilogramnya durian jenis ini dijual Rp. 15 ribu, maka untuk sebuah durian raksasa tersebut kita harus mengeluarkan biaya hingga Rp. 207 ribu.

Menurut pakar tanaman buah dari Malaysia Erick Lim, varietas monthong memang berukuran cukup besar tetapi yang biasa ditemukan berbobot hingga 6 kg saja. Bahkan, untuk ukuran yang diatas 12 kg diakuinya termasuk sangat jarang ditemui. Volume daging buahnya bisa sekitar 55%. ”Durian baru dipanen sekali ini dan berasal dari pohon yang baik, batang yang sehat dan didesain dengan jumlah buah sedikit,” jelas Eric, kemarin.

Monthong raksasa ini masak pohon. Jika biasanya butuh waktu 120-125 hari agar durian benar-benar matang di pohonnya, maka khusus durian yang dipanen akhir pekan lalu ini membutuhkan waktu hingga 135 hari. Unggul Suroso, Manajer Koordinator Kebun menjelaskan selain pupuk dasar untuk pertumbuhan dua minggu sekali, adapula pupuk produksi dan pupuk rehabilitasi.

Plantera Ngebruk

Selain di Plantera Kalisidi, durian monthong ini juga dibudidayakan di Plantera Kebun Ngebruk yang baru saja soft opening Sabtu (15/11) lalu. Jika di Kalisidi luas areal durian mencapai 20 hektare, maka di Ngebruk khusus monthong ada sekitar 3 hektare dengan jumlah mencapai 324 pohon. ”Di agrowisata Ngebruk, pongge (biji) durian monthongnya lebih kecil-kecil bahkan kadang kita susah mau cari bijinya dimana,” ujar Budi Darmawan di areal agrowisata Plantera Ngebruk yang direncanakan dibuka resmi oleh Gubernur Bibit Waluyo, Minggu (14/12) mendatang.

Di bulan-bulan Desember hingga Februari disebutnya sebagai waktu yang pas untuk menikmati semua buah yang dibudidayakan di sana. Mulai dari lengkeng itoh, monthong, sirkaya grand anona, buah naga, melon, jambu citra, rambutan binjai, dan lain-lainnya.

Unggul menambahkan, durian monthong mulai belajar berbunga sejak umur 3 tahun dan dapat dibuahkan 5 butir per tanaman untuk awalnya. Perlakuan durian monthong memang harus hati-hati. Pasalnya, durian mudah meranggas dan tidak tahan kekeringan. Belum lagi pertumbuhan tunas dan daun bakal terganggu jika kekurangan air dan kelembaban di bawah 70%.(Modesta Fiska-59)

Dikutip dengan sedikit penyesuaian dari Harian Suara Merdeka. Senin 17 November 2008.

Rekor Obor Tani, Melon Honey Globe 4,26 Kg

5

Petani desa binaan Yayasan Obor Tani yang sebagian besar kader-kader muda di Desa Wonokerto, Kecamatan Bancak, Kabupaten Semarang berhasil membudidayakan melon dari varietas Honey Globe hingga mencapai berat 4,26 kilogram per buahnya. Tidak hanya ratusan bahkan ribuan buah melon yang beratnya rata-rata di atas 3 kg ini, menjadi melon paling berat dan besar yang pernah ditanam dan tumbuh di tanah Indonesia.

Satu hal yang patut dicatat, para petani ini menggunakan teknik pertanian modern dan bukan rekayasa genetika seperti yang sudah dikembangkan di negara-negara maju. Ir. Budi Dharmawan, Ketua Yayasan Obor Tani yang juga adik kandung dari Kwik Kian Gie ini mengatakan: “Hari ini, petani muda Wonokerto telah membuktikan bahwa apabila dikelola dengan benar pertanian Indonesia pasti bisa mengalahkan produsen buah-buahan di dunia. Pertanian Indonesia harus segera bangkit dari tidur panjangnya.”

Daging melon Honey Globe memiliki kadar kemanisan hingga 17 persen dengan daging tebal namun lembut. Sementara melon Sky Rocket yang biasa dilempar ke pasaran berkulit tebal, daging lebih keras, dengan kadar kemanisan di bawah Honey Globe yakni berkisar 15 persen.

”Ini melalui proses panjang dan kami butuh waktu sampai 7 kali pelatihan sampai mendapatkan melon sebesar ini,” kata Ketua KMNU Muh Arif Ruba’i.

Atas prestasi tersebut, Museum Rekor Dunia-Indonesia (Muri) mencatat rekor melon terbesar yang telah dibudidayakan anak-anak muda gemblengan Yayasan Obor Tani (Yabortan) dan Kaum Muda Nahdlatul Ulama (KMNU).

“Dalam catatan kami, tak ada melon seberat itu. Bahkan bisa jadi ini yang terberat sedunia,” kata General Manajer MURI, Paulus Pangka di Vina House Semarang, Jalan Diponegoro, Kamis (22/11/2007) malam.

Penganugerahan keberhasilan ini sedianya dilakukan secara mandiri oleh petani tergabung dalam Kaum Muda ”BARU” Petani Indonesia. Namun akhirnya melon terbesar ini berhasil dicatatkan dalam Rekor Muri dengan pemberian piagam yang diserahkan langsung oleh Manajer Muri Paulus Pangka.

Sebelumnya, MURI tidak berencana memberi penghargaan atas budidaya melon tersebut. Namun karena prestasi tersebut dinilai cukup membanggakan, mereka mencatatnya sebagai rekor dengan urutan 2.869.

Melon super itu berasal dari Taiwan dan dibudidayakan di beberapa daerah di Indonesia. Namun di Taiwan, berat melon maksimal hanya mencapai 2,5 kilogram. Bahkan ketika General Manager, pabrik benihnya, Known You Seed yang berasal dari Taiwan, Mr. Michael Andy Hong, mengaku kaget ketika mendapat laporan kalau melon “ciptaannya” mempunyai berat sebesar itu. Andy Hong langsung menyempatkan diri datang ke Indonesia untuk melihat kenyataan tersebut.

Dari teksturnya, melon berwarna hijau jenis Honey Globe berkulit putih dan tipis, berdaging tebal dan segar, dan rasanya lebih manis. Daya tahan melon tersebut juga lebih lama dibanding melon biasa, bisa sampai satu bulan. Lihat tabel.

Hadir dalam acara tersebut Gubernur Jateng Ali Mufiz, wali kota Sukawi Sutarip, Ketua Pengurus Yabortan Ir Budi Darmawan beserta pengurus, Ketua Kadin Jateng Solichedi, serta sejumlah pengusaha yang di akhir acara melakukan lelang melon-melon dengan berat di atas 4 kg.

Hasilnya satu butir melon terberat tersebut, akhirnya berhasil dimenangkan oleh seorang notaris ternama di Semarang, Ny Liliana Tedjosapoetro seharga Rp 8 juta. Kemudian dua butir melon terberat kedua, juga dilelang dan dimenangkan oleh pengusaha, Marimas, minuman serbuk no. 2 di Indonesia yang berasal dari Semarang, Harjanto Kusuma Halim dengan nilai sebesar Rp 5 juta. Sedangkan hasil lelang tiga butir melon terberat ke tiga, dimenangkan oleh koalisi 7 orang tokoh masyarakat Semarang: Harjanto Halim Marimas, Budi Dharmawan Zanzibar, Arwin Vina House, Solichedi Ketua Kadin Jateng, Ali Mufiz Gubernur Jateng, Sukawi Sutarip Walikota Semarang dan Hertoto Basuki Ketua BKSP Jateng. (*)

Dikutip dengan sedikit revisi dari: Harian Suara Merdeka, Jumat, 23 Nopember 2007 dan detik.com

Waduk Mini Penyelamat Ladang Petani

23

Oleh: Pratomo, SP *)

Air adalah salah satu faktor penentu keberhasilan pertanian. Tanpa air, jangan berharap tanaman bisa tumbuh apalagi panen. Problematika air pada musim kemarau di Indonesia khususnya Jawa Tengah sampai dengan jaman “Bali Deso Mbangun Desa” saat ini belum juga terselesaikan. Seperti cerita tantangan Columbus -pengeliling dunia- tentang bagaimana cara membuat telur rebus bisa berdiri, masalah air ini sebenarnya juga mudah kalau sudah tahu caranya. Jawabannya adalah dengan membangun waduk mini.

PERTANIAN menurut tingkat ketersediaan air dibagi menjadi dua yaitu: Pertanian persawahan dengan irigasi cukup dan petanian pertanian ladang lahan kering yang hanya mengandalkan hujan. Pertanian sawah sudah pernah diurus pemerintah dengan baik pada rentang tahun 1970-1980-an dengan membangun sarana dan prasarana irigasi pertanian termasuk waduk-waduk berskala besar, berikut saluran air dari mulai saluran primer hingga tersier, didukung pemenuhan tenaga penyuluh pertanian dengan jumlah dan kompetensi yang cukup, dibangunkan balai benih dan pabrik pupuk yang kredibel, Kredit Usaha Tani yang nggenah, Program Intensifikasi Pertanian, Panca Usaha Tani dan pembinaan kelompok tani yang tepat, membuat pada era tersebut pertanian Indonesia meraih masa keemasan dengan berhasil swasembada pangan.

Sampai kemudian korupsi yang mulai merajarela di akhir 1980-an hingga saat ini, merampas hak-hak petani untuk men­dapatkan air. Waduk-waduk raksasa seperti Jatiluhur, Mrica, Sempor, Karang­kates, Kedungombo beserta infrastruktur yang sudah dibangun susah payah itu, kini tak lagi terpelihara dengan baik. Sedimentasi akut telah mendangkalkan sekaligus mengurangi daya tampung air waduk-waduk besar tersebut.

Terdapat pula beberapa penyebab kerusakan waduk dan sarana irigasi penunjangnya. Mengutip pernyataan pakar hidrologi Djoko Sasongko, ada empat hal penyebab kerusakan waduk dan saluran irigasi. Pertama, erosi akibat mengalirnya air (run-off) melalui lubang-lubang/pondasi (piping). Kedua, keru­sakan karena retakan (cracking). Ketiga, akibat longsoran (slide), Keempat, peluapan (overtopping), yaitu meluapnya air waduk melalui puncak bendungan/saluran. Daya tampung air waduk di musim hujan makin berkurang, mengakibatkan banjir, serta pemenuhan kebutuhan bahan baku untuk air minum, industri maupun air untuk irigasi tidak memadai.

Diakui pula oleh Dirjen Sumber Daya Air Depkimpraswil Basoeki Hadimoeljono, dari ratusan bendungan berskala besar yang ada, kini 30 buah di antaranya mengalami kerusakan cukup parah. Selain karena usianya yang sudah tua, juga akibat masalah klasik kurangnya biaya operasi dan pemeliharaan waduk. Untuk membangun waduk berskala besar bukan persoalan mudah, selain membu­tuhkan dana trilyunan rupiah juga sarat masalah sosio-ekologi. Padahal masalah air sangat mendesak dibutuhkan petani lahan kering. Sebuah hasil survei yang kredibel menya­takan bahwa rata-rata petani lahan kering/ladang hanya mendapatkan penghasilan kurang dari Rp 200 ribu/bln dari tanahnya.

Waduk Mini

Melihat kenyataan terse­but di atas membuat dua orang sahabat, pengurus Yayasan Obor Tani, Ir. Budi Dharmawan dan Ir. Gatot Adjisoetopo (Ke­tua HKTI Jateng 2005-2008) ber­tukar pikiran mengkonsep solusi bagaimana cara mem­berikan air irigasi untuk petani. Akhirnya diperoleh hipotesa bahwa, apabila curah hujan di suatu daerah sebesar 3.000 mm/tahun, maka jika di daerah tersebut digali lubang kedap air dengan ukuran 1 x 1 meter de­ngan kedalaman 3 meter, lubang tersebut pasti terisi penuh air di musim penghujan. Lalu dila­kukan pengecekan data curah hujan di daerah-daerah di Jawa Tengah, ter­nyata rata-rata curah hujannya adalah 3.500 mm/th.

Untuk menguji hipotesa tersebut pada 21 Agustus 2007, Budi Dhar­mawan, sebagai prak­tisi perkebunan buah-buahan, memutuskan untuk berujicoba dengan membuat satu waduk mini berukuran kurang lebih seluas satu lapangan sepak bola di kebunnya. Dipilih lokasi di puncak bukit agar air dapat dialirkan secara gravitasi untuk menyirami tanaman buah tanpa bantuan listrik atau BBM. Sebuah bukit dikepras dengan alat berat, tak sampai sebulan waduk impian sedalam 3 meter berbentuk trapesium seperti tribun sta­dion sepakbola sudah terbentuk.

Lantas bagaimana caranya agar air dalam waduk tidak meresap ke dalam tanah? Dipilihlah bahan Geomembran High Density Polyethylene (HDPE). Geomembran dengan garansi pemakaian selama 20 tahun, produk GSE Lining, Technology, USA ini, biasanya diper­gunakan untuk melapisi tambak-tambak udang/bandeng dan danau-danau buatan lapangan golf. Hipotesa itu ternyata benar waduk mini terisi penuh air pada April 2008, dan mampu menyiram lebih dari 4.000 pohon pada lahan 20 hektar tanaman buah selama 6 bulan masa kemarau (Mei-Oktober) bahkan di awal musim peng­hujan Oktober masih tersisa ketinggian air sekitar 45 cm. Tabel 1, di bawah ini adalah data waduk mini dan perhitungan biaya pembuatannya.­

Waduk mini untuk tabungan air selama musim kemarau ini mempunyai keunggulan, yaitu: biaya pem­buatan rendah, perawatan mu­dah dan murah -sedimentasi gampang dikuras, kerusakan mudah dilas, manajemen penge­lolaan efisien, karena berada di atas waduk air yang ditampung relatif bersih terhidar dari erosi tanah yang masuk ke dalam waduk, serta bisa untuk pem­besaran ikan sistem karamba.­

Kebutuhan lahan pun sa­ngat efisien, dimana lahan yang diper­gunakan untuk waduk maksimal 8.000 m2 (sudah ter­masuk bibir waduk, jalan ins­peksi dan kaki waduk), mem­punyai kapasitas meng­airi 20 hektar tanaman buah, artinya kebutuhan lahan untuk waduk ha­nya kurang dari 4% diban­dingkan dengan luas lahan yang harus disiram. Waduk seharga Rp 360 juta tersebut bisa menghidupi minimal 100 kepala keluarga/KK (dengan luas lahan rata-rata 2.000 m2) x 4 jiwa = 400 jiwa. Seratus KK tersebut sepanjang tahun dapat menanam apa saja bahkan bu­ah-buahan ung­gul yang ada di supermarket seperti Durian Monthong, Lengkeng Itoh, Jambu Air Citra atau Srikaya Grand Anona di atas lahan yang dulunya kering kerontang.

Kemudian ada beberapa hal lagi yang harus dikerjakan secara gotong-royong oleh penduduk desa sekitar yaitu pembuatan pagar dan penanaman rumput di lereng waduk untuk mencegah erosi. Saat ini terhitung sudah dibangun 4 waduk mini di atas bukit di Jawa Tengah, tersebar di Kec. Patean Kendal, Kec. Bawen Ungaran (2 buah) dan kini yang terbaru adalah grant Yayasan Obor Tani untuk petani Desa Genting, Kec. Jambu, Kabupaten Semarang. Waduk mini tersebut diberikan dalam kerangka grant Program Sentra Pember­dayaan Tani (SPT): “Satu Desa Satu Milyar”. SPT adalah paket pemberdayaan petani berupa hibah waduk mini dan 20 hektar kebun unggul untuk petani desa sekaligus diklat pertanian selama 3 tahun.

Bentuk hibah program SPT adalah pembangunan sebuah waduk mini dengan daya tampung antara 8.000 – 10.000 m3 dan 20 hektar kebun buah untuk sebuah desa terpilih. Tahun 2008, Desa Genting terpilih sebagai desa penerima SPT dari hasil seleksi dari desa-desa se-Kabupaten Sema­rang. Para petani peserta menye­rahkan 2.000 m2 lahannya kepada Obor Tani untuk ditanami buah bermutu tinggi (Lengkeng Itoh) dan dikelola Obor Tani selama 3 tahun. Setelah itu diserahkan kembali kepada petani ketika sudah menjadi kebun buah siap panen. Di desa Genting program SPT diikuti oleh 126 KK petani, dengan luasan lahan 20,82 hektar. Selama 3 tahun itu pula SPT di desa tersebut berfungsi sebagai:

1.    Training Center. Pusat berbagai diklat pertanian untuk petani.

2.    Suplay Center. Pusat penyediaan sarana produksi. (Bibit, pupuk, pestisida dll.).

3.    Riset Center. Pusat Penelitian dan informasi untuk para petani.

Keberadaan SPT mutlak diperlukan di desa-desa agar peletakan pondasi pembangunan berbasis pedesaan untuk memakmurkan rakyat Jawa Tengah dapat tercapai. Sebab tidak bisa dipungkiri di desa saat ini jauh lebih sulit mencari warung pupuk atau warung bibit diban­dingkan mencari warung pulsa atau warung handphone. Petani juga tidak tahu harus ke mana untuk mendapatkan infor­masi mengenai komoditas apa yang menguntungkan untuk ditanam, mana pupuk yang asli, bagaimana cara men­dapatkan teknologi penanaman modern dan lain sebagainya.  Bersamaan penye­rahan kembali kebun buah kepada petani setelah 3 tahun dikelola Obor Tani, Sentra Pemberdayaan Tani juga diserahkan pengelolaannya kepada desa.

Dana pembangunan SPT dihimpun oleh Obor Tani dari Corporate Social Responbility (CSR) perusahaan-peru­sahaan dan para pengusaha di Indonesia antara lain Marimas-Harjanto Halim, Hari Budianto-Nutrifood, Lisa Tirto Utomo-Aqua, Iwan Arman-Karoseri Lak­sana, PT. Cengkeh Zanzibar, Ro­yanto Rizal-NRC, Hendro Siswoyo dan Harsono Enggal Hardjo.

Di tahun 2009 ini direncanakan 5 desa di Jawa Tengah akan dise­leksi untuk menerima 5 SPT, sampai saat ini puluhan proposal peng­ajuan SPT dari kepala-kepala desa di Jawa Tengah sudah diterima Obor Tani, sampai nanti batas akhir penyerahan proposal adalah 30 Juni 2009. Satu lagi SPT bonus berasal dari Wakil Gubernur Jawa Tengah, Rustriningsih untuk satu desa di Kebumen.

Tiga tahun nanti akan terbukti, ternyata bisa membuat petani makmur berawal dari waduk mini. Di saat itulah telur rebus Columbus bisa tegak berdiri. Bila teknologi waduk mini semakin banyak ditiru, akan semakin bagus, karena jumlah dan penyebaran waduk mini makin banyak dan makin luas. Ini artinya konservasi dan penghijauan per­bukitan dan lahan-lahan gundul menjadi hutan tanaman buah dapat terlaksana dengan cepat. Berarti pula air tanah kembali semakin banyak, air yang ditahan perakaran tanaman semakin banyak, erosi (run-off) tidak terjadi lagi di perbukitan sehingga banjir dan tanah longsor semakin berkurang. Kalau sudah begini tidak hanya masyarakat desa yang sejahtera tetapi juga masyarakat kota mendapat dampak positif dengan turun­nya urbanisasi, banjir tidak ada lagi, serta dengan membaiknya perekonomian desa maka barang-barang konsumsi dan kebu­tuhan sekunder yang dijual di kota akan laris dibeli masyarakat desa. (*)

Penulis adalah mahasiswa Program Magister Teknologi Pangan Unika Sugijapranata dan bekerja sebagai Sekretaris Eksekutif, Yayasan Obor Tani.

Hidram, Pompa Air tanpa Listrik dan BBM

122

Oleh: Pratomo, SP *)

Baru-baru ini ada iklan bantuan instalasi air bersih dan pompa air di Nusa Tenggara Timur dari program Corporate Social Responsibility (CSR) sebuah produsen air mineral ternama. Tampak seseorang memukul pemberat klep untuk menghidupkan pompa air. Itulah pompa hidram sebuah teknologi pompa air tanpa listrik dan BBM. Dengan semakin mahalnya bahan bakar, energi dan isu lingkungan membuat pompa Hidram semakin relevan.

Sesuai hukum gravitasi, air selalu mengalir dari tempat tinggi menuju yang lebih tempat rendah. Sepertinya mustahil kalau harus menaikkan air dari sumber atau alirannya menuju tem­pat yang lebih tinggi, tanpa bantuan energi listrik atau bahan bakar minyak (BBM).

Tetapi apabila suatu ketika Anda ber­kun­jung ke perkebunan teh di Pur­wa­karta-Jawa Barat atau perkebunan jambu air di Singorojo, Kendal-Jawa Tengah, Anda akan melihat bagaimana air dialirkan dari sungai yang berada di hilir, naik mendaki perbu­kitan dengan selisih keting­gian hingga puluhan meter, yang berjarak ratusan meter, antara rumah pompa dengan tandon air di puncak bukit. Semua itu digerakkan oleh sebuah pompa, hebatnya lagi pompa itu tidak digerakkan oleh motor listrik atau motor bakar dengan BBM.

Pompa tersebut dinamakan pompa Hidram, berasal dari kata Hydraulic Ram Pump, bisa diartikan pompa air dengan tenaga hantaman air. Di Indonesia pompa ini sebenarnya sudah ada sejak jaman pen­ja­jahan Belanda, namun kurangnya pera­wat­an dan edukasi membuat pompa ini tidak lestari. Ditambah jaman dulu sumber air masih sangat banyak, sungai masih lan­car mengalir dengan debit besar, tanahnya masih subur dengan humus, hutan masih lebat belum gundul, tanahnya belum erosi hingga mendangkalkan sungai. Tetapi keadaan sekarang adalah kebalikan semua itu, membuat pompa Hidram tampil lagi sebagai solusi.

Dari berbagai sumber, pompa Hidram ada yang menyatakan berasal dari Peran­cis, digunakan untuk menaikkan air ke atas kastil-kastil. Ada juga sumber mengatakan berasal dari Tiongkok untuk mengairi tanah pertanian di bukit-bukit. Prinsip kerja Hidram adalah pemanfaatan gravitasi dimana akan menciptakan energi dari hantaman air yang menabrak faksi air lainnya untuk mendorong ke tempat yang lebih tinggi. Untuk mendapatkan energi potensial dari hantaman air diperlukan syarat utama yaitu harus ada terjunan air yang dialirkan melalui pipa dengan beda tinggi -elevasi- dengan pompa Hidram minimal 1 meter.

Syarat utama kedua adalah sumber air harus kontunyu dengan  debit minimal 7 liter per menit (Widarto, 2000). Besarnya debit pemompaan dapat dihitung dengan rumus Q2 = Q1 x H1 : H2 x j. Dimana Q2 adalah debit air yang dipompakan (liter/menit), Q1 adalah debit air yang masuk pompa (liter/menit), H1 adalah tinggi terjunan dalam meter, H2 adalah tinggi pemompaan dalam meter dan j adalah efisiensi pompa yaitu 0,5 -0,75. Dalam prakteknya diperoleh perbandingan tinggi terjunan dan tinggi pengangkatan air sebesar 1:6, akan menghasilkan debit pemompaan sebesar 1/3 dari debit air yang masuk ke pompa, sedang 2/3 debit air akan keluar melalui klep pembuangan setelah memberikan tenaga hantaman.

Mekanisme Hidram

Prinsip kerja dari pompa Hidram dapat dilihat dari gambar irisan pompa dapat dilihat bahwa bagian kunci dari Hidram adalah dua buah klep, yaitu: klep pem­buangan dan klep penghisap. Air masuk dari terjunan melalui pipa A, klep pem­buangan terbuka sedangkan klep peng­hisap tertutup. Air yang masuk memenuhi rumah pompa mendorong ke atas klep pembuangan hingga menutup. Dengan tertutupnya klep pembuangan meng­akibatkan seluruh dorongan air menekan dan membuka klep penghisap dan air masuk memenuhi ruang dalam tabung kom­presi di atas klep penghisap. Pada volume tertentu pengisian air dalam tabung kompresi optimal, massa air dan udara dalam tabung kompresi akan mene­kan klep penghisap untuk menutup kem­bali, pada saat yang bersamaan sebagian air keluar melalui pipa B. Dengan tertutup­nya kedua klep, maka aliran air dalam rumah pompa berbalik berlawanan dengan aliran air ma­suk, diikuti dengan turunnya klep pembu­angan karena arah tekanan air tidak lagi ke klep pembuangan tetapi berbalik ke arah pipa input A. Nah, disinilah hantaman -ram- palu air (water hammer) itu terjadi, dimana air dengan tenaga gravitasi dari terjunan menghantam arus balik tadi, 2/3 debit keluar lubang pembuangan, semen­tara yang 1/3 debit mendorong klep penghisap masuk ke dalam tabung pompa sekaligus men­dorong air yang ada dalam tabung pompa untuk keluar melaui pipa output B. Begi­tulah energi hantaman yang ber­ulang-ulang mengalirkan air ke tempat yang lebih tinggi.

Tertutup dan terbukanya kedua klep secara bergantian menimbulkan bunyi “dek-dok”, suara “dek” adalah tertu­tupnya klep penghisap yang membentur rumah klep, sementara suara “dok” adalah tertutupnya klep pembuangan yang juga membentur rumah klep. Hingga masya­rakat sekitar sering menyebut Hidram dengan sebutan pompa “dek-dok” atau pompa “jedhok-jedhok”.

Selain dua syarat utama tadi, pem­buatan pompa Hidram perlu memper­hatikan perbandingan tinggi terjunan dan tinggi pemompaan air yaitu 1:5. Tiap beda tinggi terjunan 1 meter akan mampu memompa air setinggi 5 meter dari rumah pompa ke tempat tandon air. Jadi bukan hal yang mustahil ketika beda tinggi terjun­an air 12 meter di perkebunan teh mampu memompa air hingga ketinggian lebih dari 50 meter dengan jarak lebih dari 500 meter.

Hal kedua yang perlu diperhatikan adalah penyesuaian diameter pompa dengan debit air. Untuk mengoptimalkan tekanan semakin besar debit air, diameter pompa semakin besar pula. Berikut ini tabel diameter pompa dan debit air :

Beberapa permasahan yang mungkin timbul dalam pengoperasian pompa hidram antara lain:

1.      Klep pembuangan tidak dapat naik atau menutup, disebabkan beban klep terlalu berat atau debit air yang masuk pompa kurang. Dapat diatasi dengan mengurangi beban atau memperdek as klep pembuangan.

2.      Klep pembuangan tidak mau turun atau membuka, karena beban klep terlalu ringan, jadi bisa diatasi dengan menambah beban klep atau mem­perpanjang as klep pembuangan.

3.      Tinggi pemompaan di bawah rasio rumus, yaitu setiap terjunan 1 meter dapat menaikkan setinggi 5 meter. Penyebab pertama adalah terjadinya kebocoran atau tidak rapatnya klep. Penyebab kedua rasio diameter pipa input dibanding pipa output lebih besar dari 1 berbanding 0,5. Dapat diatasi dengan memeriksa dan mem­perbaiki klep atau mengurangi diameter pipa output. Penyebab ketiga adalah terlalu banyaknya hambatan pada pipa output menuju baktandon, berupa banyaknya belokan pipa. Agar hal tersebut tidak terjadi, pada saat instalasi pipa sedapat mungkin dikurangi lekukan atau belokan pipa menuju tandon.

Kunci keawetan dan operasional pompa hidram adalah perawatan rutin, mengingat sumber air yang dipergunakan mengalir pada saluran umum yaitu: sungai, saluran irigasi atau mata air. Selain harus menjaga air yang mengalir terbebas kototan/sampah dengan cara membuat saringan, dipakainya sumber air umum tersebut membuat debit air berubah-ubah, fluk­tuatif, yang bisa menyebabkan klep pembuangan berhenti bekerja -membuka-metutup. Cara membuat klep pembuangan bekerja lagi adalah dengan cara pemukul as klep dengan balok kayu seperti dalam iklan CSR bantuan air bersih produsen air mineral ternama tadi.

Manfaat Hidram

Manfaat Hidram yang paling signifikan adalah efisiensi biaya untuk membeli energi seperti listrik atau BBM. Dengan berfungsinya Hidram maka lahan-la­han yang dulunya tidak terjangkau irigasi dapat dipergunakan untuk budidaya tanaman. Da­pat pula dipergunakan sebagai penyuplai air kebutuhan industri dan rumah tangga termasuk air minum dengan menggunakan filtrasi. Usaha perikanan dan peternakan juga akan sangat terbantu dengan adanya aliran air. Dengan sedikit memodifikasi, aliran air dalam pompa hidram juga dapat berfungsi menggerakkan turbin generator.

Dalam tataran yang lebih makro, dengan semakin banyak pompa hidram dioperasikan, dapat mengurangi resiko banjir. Kemudian dengan semakin mera­tanya penggunaan air, maka tanaman keras di perbukitan akan lebih mudah tumbuh, ini berarti konservasi lahan dan air tanah juga semakin terjaga, ditambah dengan manfaat berkurangnya tanah longsor dan erosi di perbukitan yang semakin rimbun tanaman keras.

Analisa biaya pembuatan pompa Hidram 1,5 inch menghabiskan biaya Rp 1,5 juta, sedang untuk pompa 4 inch memerlukan biaya Rp 3,5 juta. Apabila kita mempunyai bakat teknik dapat merakit pompa hidram sendiri, namun apabila tidak bengkel lokalpun tidak akan kesulitan meralisasikan pompa Hidram. Bahan klep yang dipergunakan tidak perlu klep bikinan pabrik tapi dengan sedikit kete­litian kita dapat mempergunakan karet ban dalam untuk klep, baik klep pembuangan atau klep penghisap. Spesifikasi material, pola lengkap dan cara pembuatan pompa Hidram bisa didapatkan di Fakultas Teknik Universitas Sultan Agung Semarang, Lembaga Pengabdian Masyarakat Universitas Gajah Mada (LPM-UGM) dan Per­kebunan Cengkeh Zanzibar Semarang.

Akhir kata, pengembangan ide-ide dan teknologi tepat guna menjadi sangat berarti di tengah krisis energi yang menghadang masa depan dunia. Peng­gunaan energi yang tidak bisa diper­baharui sedapat menjadi pilihan terakhir dalam memenuhi kebutuhan dalam akti­vitas-aktivitas kehidupan kita. (*)

Penulis adalah mahasiswa Program Magister Teknologi Pangan Unika Sugijapranata dan bekerja sebagai Sekretaris Eksekutif, Yayasan Obor Tani.

DAFTAR PUSTAKA

Widarto, L. & FX. Sudarto C. Ph. (2000). Teknologi Tepat Guna: Membuat Pompa Hidram. Kanisius. Yogyakarta.

Leonardo, El.. (2002). Design and Construction of a Hydraulic Ram Pump.Universitas of Nigeria. Nigeria.

Crowley, C.A. (August 1937). “Hydraulic rams furnish water supply to country homes”. Popular Mechanics: 306-311.

Crowley, C.A. (September 1937). “Hydraulic rams furnish water supply to country homes”. Popular Mechanics: 437-477.

Toothe v. Bryce, 25 Atlantic Reporter , pp. 182-190 .

Iversen, H.W. (June 1975). “An analysis of the hydraulic ram”. Journal of Fluids Engineering: 191-196.

Hydraulic Ram: Fixing & Working. Spons’ Workshop Receipts. vol II. London: Spon. 1921. pp. 457-465

Perempuan di Blok-blok Perkebunan

0

Oleh : Pratomo, SP *)

Suwarga nunut, Neraka katut. Mungkin kiasan itu cocok menggambarkan kehidupan perempuan-perempuan di sekitar wilayah perkebunan. Terjemahan bebasnya adalah: Jika dalam kondisi enak (surga) perempuan boleh nunut (membonceng), kalau yang dinunuti (laki-laki) memperbolehkan. Tapi kalau dalam kondisi sengsara (neraka), perempuan mau nggak mau, pasti harus ikut (katut).

Sebelum menelaah kehidupan kaum perempuan di sekitar wilayah perkebunan, ada baiknya kita masuk terlebih dahulu ke wilayah etika yang mendasari suatu pembangunan budaya dalam masyarakat. Mengacu pada Carol Gilligan pencetus etika kepedulian (ethic of care) -tokoh feminis tahun 1970, di dalam bukunya Different Voice, menyatakan bahwa perempuan memiliki etika yang berbeda dari pria. Etika pria adalah etika yang secara rasional di dasarkan pada penetapan hak dan kewajiban. Etika pria tersebut ditujukan untuk membentuk “subjek yang otonom”, yaitu subyek yang mandiri dalam berfikir dan bertindak mengambil keputusan sendiri tanpa didikte oleh orang lain. Karena itulah etika pria disebut etika keadilan.

Masih dalam buku yang sama, dinyatakan oleh Gilligan, karena perempuan bisa hamil dan melahirkan anak, maka perempuanlah yang dianggap harus membesarkan anak, disinilah terbukti bahwa etika keadilan yang didasarkan pada “hak dan kewajiban” tidak cocok untuk perempuan. Karena mengandung, melahirkan, menyusui dan membesarkan anak bukan soal “hak dan kewajiban”, melainkan soal “kepedulian”. Sejak pernyataan Gilligan itulah etika kepedulian mulai mendapat pengikut, karena di dalam etika kepedulian-lah terdapat: keadilan. (Donny Danardono, 2009).

Dalam kultur paternalistik di Indonesia dimana kekuasaan pria lebih dominan maka etika keadilan juga menjadi dominan dalam kehidupan. Mayoritas pria sebagai penganut etika keadilan hanya “mengalah” dan menerapkan etika kepedulian, pada saat merebut hati perempuan yang dicintainya. Pria rela melakukan apa saja, tapi setelah cinta diterima dan mereka menikah, para pria kembali menjadi penganut etika keadilan.

***

Kehidupan para perempuan di blok-blok sekitar perkebunan lebih parah lagi, karena selain mereka hidup dalam aturan etika keadilan (etika pria) mereka juga harus ikut menanggung kewajiban pria yaitu mencari nafkah sebagai buruh perkebunan. Perkebunan selalu menjelma “kerajaan” kecil di suatu wilayah pedesaan, posisi mereka sebagai pusat kekuasaan lokal juga menjadi sandaran ekonomi desa-desa yang terletak di sekitarnya. Pemandangan kontras pasti terjadi antara perkebunan dengan desa sekitar. Pimpinan, staf dan pegawai tetap perkebunan -apalagi perkebunan negara/PTPN- hidup dengan gaji tinggi dengan penuh fasilitas: rumah dinas, mobil dinas, lapangan tenis, kolam renang dan fasilitas lainnya. Sementara desa-desa di sekelilingnya tetap miskin dengan tingkat pendapatan dan pendidikan yang rendah.

Para pria yang menjadi kepala keluarga kebanyakan bekerja sebagai buruh di perkebunan dengan komoditas karet, kopi, sawit, kakao, teh dan cengkeh, baik sebagai tenaga pemelihara tanaman, tenaga panen maupun tenaga pemroses hasil panen. Upah buruh harian perkebunan pada tingkat yang paling bawah masih jauh dari mencukupi mereka mendapatkan Rp 14.000,- s/d Rp 20.000,- tiap kali datang bekerja. Dengan 26 hari kerja artinya dalam sebulan mereka mendapatkan Rp 390.000 s/d Rp 520.000,-. Masih di bawah standar dari Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) dan jauh dari kecukupan kehidupan sehari-hari. Itulah yang menyebabkan para perempuan harus bekerja.

Bagaimana masyarakat perkebunan bisa hidup? Selain bekerja di perkebunan, mereka (suami dan atau isteri) juga mempunyai pekerjaan di bidang pertanian dalam arti luas (farm) seperti memelihara ternak, berbudidaya sawah dan tegalan, buka usaha kecil, tukang batu/kayu, buruh pocokan dan jasa. Meski begitu, hasil dari semua pekerjaan mereka masih jauh dari memadai untuk hidup layak. Tapi sebenarnya bagaimana rutinitas kerja para buruh perempuan di perkebunan? Mari kita ikuti potret kehidupan mereka.

Perempuan di Kebun Teh

Para perempuan itu berangkat sehabis shalat subuh dari kampung mereka biasa berjalan kaki atau menumpang truk perkebunan kalau kebetulan lewat, dengan caping lebar menggendong keranjang bambu dipunggungnya. Di perkebunan teh, pukul 6.30 pagi. Mereka sudah harus mulai bekerja memetik pucuk-pucuk daun teh setinggi dada.

Mereka bangun jam empat pagi, memasak, menyiapkan bekal seadanya, mengerjakan pekerjaan rumah da sedikit sarapan sebelum berangkat. Jam sebelas setelah hasil petikan daun teh ditimbang baru bekal dimakan. Bekal yang mereka bawa dari rumah mereka kumpulkan di atas daun lebar, kemudian dimakan bersama-sama. Setelah itu bekerja lagi dan pulang dari perkebunan pukul 14.00 -kalau tidak ada lembur- kembali berjalan kaki. Pukul 15.00 mereka memasak, mandi, dan shalat. Mereka makan kedua sekitar pukul 17.00 bersama anggota keluarga lainnya. Waktu dari maghrib hingga berangkat tidur pukul 21.00 adalah waktu untuk memperbaiki sarung tangan dan keranjang memetik teh, membereskan rumah dan pekerjaan lainnya. Begitu seterusnya sampai mereka beranjak tua. Perempuan di kebun kopi, karet, cengkeh dan kelapa sawit juga mempunyai ritme kerja yang hampir sama.

Dikutip dari Mies Grijns (1992) dalam tulisannya, “Tea-Pickers in West Java as Mothers and Workers”, mencatat ada pembagian kerja berdasarkan jender terjadi di dalam rumah tangga dan di perkebunan teh. Di rumah, perempuan bertanggung jawab penuh untuk urusan rumah tangga dan merawat anak-anak sebagaimana norma umum yang berlaku di masyarakat. Laki-laki mendapat peran sebagai kepala keluarga, dan bertugas mencari nafkah. Kalau dilihat seperti itu sepertinya adil. Tetapi dalam praktiknya perempuan tidak cuma berperan sebagai istri, ibu rumah tangga dan pengasuh anak, tapi juga sebagai pencari nafkah.

Di perkebunan tempat kerja, pembagian kerja berdasarkan jender tampak jelas, untuk keuntungan pekerja sendiri maupun perusahaan. Para pemetik teh sebagian besar adalah perempuan. Laki-laki sebagai pemetik teh hanya ada pada saat panen raya atau pada saat ada pegawai baru yang sedang menjalani masa training. Perempuan dipilih menjadi pemetik teh karena dianggap memiliki tangan lebih terampil dan sensitif memilih pucuk teh yang boleh dipetik. Sedangkan, penimbang, pemelihara tanaman dan mandor didominasi laki-laki (Ninuk Pambudy, 2006).

Jenjang karir? Hampir tidak ada, seumur hidup mereka menjadi pemetik teh. Sangat banyak perempuan memulai “karir” sebagai pemetik teh dari mulai usia belasan tahun hingga pensiun di usia 55-70 tahun, tetap sebagai pemetik teh. Sebagian sangat kecil perempuan, karirnya paling naik menjadi administrasi atau juru tulis, itupun tetap harus bersaing dengan laki-laki. Mereka tak bisa menghindar dari keharusan untuk memilih profesi pemetik teh sebagai way of life.

Rawan Kekerasan Gender dan Diskriminasi

Perilaku kebanyakan laki-laki buruh perkebunan, lebih memberatkan para perempuan. Nafkah material laki-laki yang jauh dari cukup tersebut masih tidak bisa diterima penuh oleh para istri. Terutama gaya hidup boros para laki-laki yang menyukai judi, rokok, minum dan menggunakan pendapatannya untuk kebutuhan sendiri, saat nongkrong dan ngobrol dengan teman-temannya. Secara psikologis sifat dasar laki-laki yang selalu ingin berkompetisi akan membuat ia merasa rendah diri apabila tidak punya uang cukup atau tidak mampu mentraktir -rokok, makan-minum- teman-temannya. Apakah ada etika kepedulian yang di terapkan laki-laki? Hampir tidak ada. Sepulang kerja mereka makan, nonton televisi atau pergi kumpul dengan klan laki-laki. Tugas rumah tangga dan membesarnya anak-anak mau tidak mau menjadi tanggung jawab perempuan. Argumen perempuan untuk meminta dibantu dalam tugas sehari-hari dalam mengurus rumah tangga dan anak-anak selalu membentur tembok budaya dan norma agama yang didogmakan dan disalahgunakan oleh para laki-laki, bahwa kaum laki-laki adalah pemimpin keluarga dan perempuan harus patuh dan melayani apabila tidak ingin melanggar norma budaya dan agama.

Perempuan di perkebunan kelapa sawit nasibnya relatif lebih buruk lagi. Maraknya kehadiran perkebunan sawit sebagai dampak melejitnya harga CPO (crude palm oil), tanpa diserta studi amdal dan sosiologi banyak merugikan masyarakat sekitar dan lingkungan, karena pemerintah -terutama pemerintah daerah- lebih memihak para pemodal pemilik perkebunan. Persoalan lebih banyak muncul seperti tercemarinya dan berubahnya tata guna sungai hingga tidak bisa lagi digunakan masyarakat untuk keperluan sehari-hari, pengambilan paksa tanah yang dulunya digarap masyarakat selama bertahun-tahun dengan dalih pengaktifan kembali Hak Guna Usaha (HGU), mengakibatkan masyarakat yang dulunya bisa mencukupi kehidupannya kini berubah menjadi miskin kehilangan mata pencaharian.

Kemiskinan membuat sebagian masyarakat perkebunan, terutama kaum perempuan, mencari nafkah di luar negeri dan sebagian lagi terperangkap masuk lokalisasi pelacuran yang muncul dan berkembang bersama dengan kehadiran perkebunan besar. Kehadiran perkebunan sawit besar di Sumatera dan Kalimantan tidak hanya menimbulkan pemiskinan terhadap masyarakat kecil, tetapi juga telah memporakporandakan nilai-nilai moralitas yang selama ini mereka junjung tinggi (Komnas Perempuan, 2007).

Akar Permasalahan

Permasalahan tersebut sangat komplek dan sistemik, dimana akar permasalahannya adalah kemiskinan. Pemecahan masalah tersebut tidak akan mampu terpecahkan apabila hanya diserahkan kepada Lembaga Swadaya Masyarakat atau Kementrian Pemberdayaan Perempuan, Pertanian, Kesejahteraan Rakyat. Tetapi diperlukan langkah besar dari Presiden RI untuk merubah merubah main-set pemikiran pemerintah Indonesia yang selama ini -disadari atau tidak- adalah upaya melestarikan kemiskinan, dengan selalu memposisikan bahwa rakyat itu selalu miskin dan pemerintah adalah bos besar (sinterklas), sehingga oleh bos besar rakyat perlu diberi askeskin (asuransi kesehatan rakyat miskin), raskin (beras miskin), BLT dan bantuan serta subsidi lainnya, kemudian rakyatnya sendiri masih tega dilabeli: gakin (keluarga miskin). Main-set bahwa rakyat itu miskin harus diubah menjadi: Rakyat Indonesia Harus Kaya.

Angka kemiskinan menurut Bank Dunia adalah penduduk usia kerja dengan pendapatan di bawah US$2,-/hari adalah 49% dari populasi penduduk Indonesia atau + 103 juta orang. Menurut BPS kategori miskin adalah yang berpendapatan di bawah US$ 1,50/hari) 19% + 40 juta orang. Logika kita -setelah kenaikan BBM- definisi Bank Dunia lebih masuk akal karena US$2,- tersebut adalah Rp 18.500,- lebih rendah dari UMK rata-rata Jawa Tengah (tertinggi Kota Semarang sebesar Rp 838.500/bln dan terendah Kabupaten Brebes Rp 575.000,-/bln). Dari sekitar 103 juta orang miskin tersebut sekitar 70% adalah petani yang tinggal di pedesaan yang merupakan basis perkebunan.

Neo-Imperialisme dan Perkebunan

Di saat Indonesia terperangkap dalam pusaran globalisasi kapitalistik dan neo-imperilisme yang merampas hak rakyat kecil dan hak kaum perempuan, tidak ada perkebunan bisa mendapatkan keuntungan yang cukup dari tanaman, kecuali perkebunan kelapa sawit raksasa. Apa sebab? Mari kita lihat tabel Prof. M.Maksun, guru besar Universitas Gajah Mada:

Dapat dilihat dari data ekspor-impor produk agro, bahwa selain kita mengimpor produk agro seperti terigu, bawang putih, susu dan sebagainya, kita juga mengekspor hasil agro seperti karet coklat, kacang mete, kopi dan sebagainya. Tetapi ternyata yang kita ekspor tersebut adalah bahan mentah, yang kemudian kita impor kembali ke Indonesia atau diolah oleh industri-industri berlisensi multinasional yang kemudian di jual kembali kepada rakyat Indonesia dengan harga yang berlipat mahal. Getah karet yang kita ekspor dijual kembali ke Indonesia dalam bentuk ban mobil mahal seperti Bridgestone dan Dunlop. Klatak kakao (coklat) kita ekspor, kita beli kembali dalam bentuk coklat Silverqueen dan Cadbury. Juga biji kopi, daun teh dan lain sebagainya bernasib sama, kita jual murah sebagai bahan mentah, kemudian kita beli lagi dengan harga berlipat mahal.

Inilah kritik tajam untuk pemerintah Indonesia yang tidak meletakkan pondasi pertanian dan teknologi pangan yang kuat dalam membangun Indonesia. Semua negara maju di dunia (AS, China, Uni-Eropa, Jepang) menyelesaikan permasalahan pangan dan pertanian untuk menjamin rakyatnya agar tetap kenyang sebelum beranjak membangun dalam bidang lain.

Kemudian diperlukan langkah-langkah spesifik untuk memakmurkan perkebunan bersama masyarakat sekitarnya. Pertama, pertimbangkan kembali komoditas perkebunan bahan baku industri (karet, kopi, coklat) yang bergantung kepada pabrik-pabrik besar. Apabila posisi tawar tidak mungkin menang, maka ganti komoditas dengan komoditas-komoditas yang kita bisa menjual bebas langsung ke konsumen dan tidak tergantung pada pabrikan, contohnya buah-buahan unggul. Dapat dilihat pada tabel di atas impor buah-buahan kita mencapai Rp 18 trilyun per tahun. Kita tidak perlu susah-susah mengekspor karena jika mutu dan kuantitas terpenuhi pasar dalam negeri pasti dapat menerima dan uang Rp 18 trilyun akan masuk kantong petani kita bukan petani luar negeri. Thailand dan China yang mempunyai tanah dan iklim yang tidak sebagus Indonesia dapat memproduksi buah buah dalam kualitas prima dan kuantitas besar sampai di ekspor ke seluruh dunia. Buah-buahan jika diatur dengan manajemen yang benar dan teknologi yang tepat, maka dalam hitungan tidak sampai satu dekade, buah impor pasti akan digantikan buah unggul Indonesia.

Kedua, perlu dibuat peraturan pemerintah bahwa dalam kerangka Corporate Social Responbility (CSR) perusahaan perkebunan harus memberikan penduduk sekitar komoditas yang sama, agar penduduk dapat menjadi plasma. Diwajibkan pula untuk perusahaan-perusahaan dengan omset tertentu harus memberikan CSR dalam jumlah tertentu. Mekanisme penyaluran CSR tersebut untuk pembangunan desa-desa karena disanalah ketahanan pangan suatu negara berada. Dengan desa sejahtera maka kehidupan para perempuan akan lebih baik.

Ketiga, pembangunan infrastruktur dan suprastruktur dengan titik berat pada pertanian dan teknologi pangan -irigasi, waduk mini, jalan menembus desa-desa, pusat pelatihan & penelitian. Serta program-program pertanian dalam arti luas (farm: tani, ternak, ikan, pengolahan).

Dengan sejahteranya petani dan desa, maka kantong kemiskinan di Indonesia akan sangat banyak berkurang. Karena populasi petani dan keluarganya merupakan populasi rakyat miskin terbesar, dimana lebih dari separo populasi rakyat miskin di desa adalah kaum perempuan. Efek positif yang otomatis berjalan beriring adalah de-urbanisasi, dimana orang-orang dari kota akan mengalir ke desa dengan adanya peluang kerja di desa. Ini berarti kota lebih mudah diatur, tidak macet, tidak sumpek, kriminalitas menurun, permintaan barang-barang kebutuhan -baik pokok, sekunder maupun tersier- dari desa ke kota semakin banyak, ini berarti roda perekonomian desa dan kota berputar dengan cepat. Deso dadi rejo, Kutho tambah mulyo (Desa jadi makmur, kota bertambah mulia/sejahtera). (3) Membangun desa berarti: Mengentaskan KEMISKINAN, Mengurangi PENGANGGURAN, Melestarikan LINGKUNGAN, Memanfaatkan LAHAN TERLANTAR, Mengembalikan HARGA DIRI PETANI dan Menyelamatkan pilar bangsa yaitu: KAUM PEREMPUAN.

Semoga ini dapat memberikan sumbangan akselerasi untuk menjadikan perempuan sebagai subjek sehingga makin terbuka ruang yang mampu menyuarakan penindasan kaum perempuan -give the voice to the voiceless, yang selama ini tidak pernah didengar atau terdengar oleh para pengambilan kebijakan publik. (*)

Penulis adalah mahasiswa Program Magister Teknologi Pangan Unika Sugijapranata dan bekerja sebagai Sekretaris Eksekutif, Yayasan Obor Tani.

Alat-alat Pengering Energi Matahari Sederhana

3

Memenuhi permintaan pembaca, berikut ini kami tampilkan Alat-alat Pengering Sederhana yang menggunakan Energi Matahari sebagai sumber panas utama.

1. Pengering Energi Matahari Sederhana

STD1

Solar Tunnel Driyer, Pengering Pangan Efisien dan Higenis

15

Produk pangan kita yang diproses dengan cara dikeringkan -beras, palawija, ikan asin, manisan buah- masih jauh dari impian produk pangan yang memenuhi standar pengolahan pangan yang aman dan higenis. Sebuah teknologi pengeringan bertenaga matahari, menyediakan peluang untuk meraih impian keamanan pangan -food safety- tersebut.

Namanya Solar Tunnel Driyer.

Peraturan keamanan pangan dunia sudah semakin banyak diratifikasi dan diterapkan secara penuh oleh negara-negara yang peduli terhadap keamanan pangan untuk rak­yatnya. Di Indonesia standar keamanan pangan masih diterapkan secara sporadis oleh industri pangan besar. Pengolahan pangan pada skala rakyat -penyuplai pangan terbesar- boleh dikata mengabai­kan standar keamanan pangan. Ini terjadi karena “peradaban pangan” kita memang masih sampai pada tahap itu. Akibatnya saat produk pangan kita akan diekspor ke luar negeri banyak yang dikembalikan karena tidak memenuhi standar keamanan pangan. Berita buruk ini akan bertambah apabila pasar bebas sudah dimulai, produk asing dengan standar kemanan pangan masuk, habislah daya saing kita.

Untuk mendapatkan produk pangan, dari lahan hingga sampai di meja makan (from farm to table) yang aman dari bahaya-bahaya kimia, biologi dan fisika selain harus terpenuhinya standar ISO 9000, juga disyaratkan untuk pemenuhan standar: Praktek budidaya yang benar/Good Agricultural Practices (GAPs), Praktek manufaktur yang tepat/Good Manufacturing Practices (GMPs)  dan Praktek higenisitas yang tepat/Good Hygiene Practices (GHPs). Persyaratan tersebut masih ditambah pemenuhan sistem kontrol bahaya pada titik-titik kritikal dari GAPs, GMPs dan GHPs yang biasa disebut Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP). Demikianlah maka tata cara budidaya, pengolahan dan industri pangan mengacu pada standar-standar tersebut diatas, termasuk semua mesin dan alat pengolah pangan.

Solar Tunnel Driyer (STD) adalah sebuah teknologi pengolahan pangan yang diciptakan guna mendukung peme­nuhan standar keamanan pangan untuk produk pangan kering. Teknologi ini lebih cepat, efisien dan higenis, menyem­purnakan metode pengeringan yang mengunakan energi matahari langsung  (open air sun drying). Seperti kita ketahui bersama home industry pengolahan pengeringan pangan rakyat masih meng­gu­nakan sinar matahari langsung. Dengan cara menghamparkan bahan yang dikering­­kan langsung di lantai dengan alas terpal, plastik, tikar atau dikeringkan dengan wadah berupa tampah atau baki (tray) di atas para-para. Seperti pada pengeringan: gabah, jagung, ikan asin dan kerupuk.

Bahan pangan yang dihamparkan ditempat terbuka dan langsung di bawah sinar matahari, jauh dari standar keamanan pangan. Rentan terkontaminasi kotoran organik dan anorganik, karena hewan piaraan -ayam, kucing dan sebagainya- dengan mudah menghampiri dan men­cemari. Belum lagi pencemaran dari asap buangan dan lindasan ban kendaraan bermotor. Satu hal lagi yang sangat penting tapi kurang disadari adalah suhu pengeringan yang fluktuatif dan tidak cukup tinggi. Ini menjadikan waktu penge­ringan menjadi lama -berhari-hari- akibat­nya bahan pangan akan ditumbuhi mikro­organisme terutama jamur dan bakteri. Secara fisik pertumbuhan mikro­organisme memang tidak begitu terlihat bahayanya dapat menyebabkan kematian baik ternak atau manusia, seperti konta­minasi alfa­toksin pada jagung dan kacang tanah.

Pengeringan dan Matahari

Pengeringan bahan makanan dila­kukan manusia sebagai suatu usaha pengawetan dalam tahapan proses reka­yasa pengolahan pangan. Pengeringan ditujukan untuk menurunkan kadar air yang terkandung dalam bahan pangan sekaligus menurunkan aktivitas air (aw). Dengan menurunnya jumlah air bebas -hingga mendekati nol, maka pertumbuhan mikroorganisme, aktivitas enzim dan reaksi kimia dalam bahan makanan akan terhenti. Sehingga umur simpan (shelf life) bahan pangan akan lebih panjang (Ananingsih, 2007).

Mekanisme pengeringan adalah ketika udara panas dihembuskan di atas bahan makanan basah, panas akan di­trans­­fer ke permukaan dan perbedaan tekanan udara akibat aliran panas akan mengeluarkan air dari ruang antar sel dan menguapkannya (Fellow, 2000).

Energi matahari merupakan sumber panas alami yang menjadi pilihan utama untuk digunakan dalam pengeringan, dibandingkan energi panas buatan lain­nya. Hal tersebut disebabkan karena untuk mendapatkan manfaat energi matahari tidak diperlukan biaya. Metode penge­ringan dengan  energi matahari yang paling banyak digunakan di negara tropis adalah pengeringan matahari di tempat terbuka. Meskipun murah dan praktis, metode ini membawa banyak kekurangan yaitu:

a.      Mudah terkontaminasi berbagai kotoran.

b.     Total tergantung pada pancaran sinar matahari terbaik.

c.      Laju pengeringan yang sangat lam­bat, mendukung pertumbuhan jamur.

d.     Sulit dicapai batas kadar air terendah untuk menghambat pertumbuhan jamur.

Sutanto (2007), menjelaskan, ber­kaitan dengan tuntutan keamanan dan kualitas pangan di era global, kekurangan-kekurangan tersebut harus dicari peme­cahannya, dengan tetap mempertahankan matahari sebagai sumber energi utama. Alat pengering dengan energi matahari idealnya menggunakan konstruksi seder­hana, efisien dalam penggunaan panas matahari dan bisa tetap bekerja dengan optimal pada pancaran sinar matahari yang fluktuatif. Maka syarat yang harus dipenuhi adalah:

a.      Temperatur pengeringan yang tinggi akan menghasilkan waktu penge­ringan yang pendek dan mampu mencapai kandungan kadar air akhir yang rendah.

b.     Melindungi dari kontaminasi kotoran dan air hujan.

c.      Biaya pembuatan murah dengan konstruksi sederhana yang bisa dikerjakan bengkel lokal.

Solar Tunnel Drying

Metode pengeringan dengan meng­gunakan Solar Tunnel Drying (STD), mampu memenuhi tiga syarat alat penge­ring yang ideal. Prinsip kerja STD adalah metode pengeringan dengan meng­gunakan udara panas yang dialirkan dalam terowongan (tunnel). Terowongan dalam STD terbagi menjadi dua bagian, yaitu: setengah bagian pertama adalah penam­pung energi panas yang dilengkapi dengan kipas blower untuk mengalirkan udara panas. Setengah bagian berikutnya adalah areal pengeringan dengan lubang penge­luaran udara diujungnya. Bahan yang diletakkan pada areal pengeringan secara terus menerus dialiri udara panas sehingga molekul air dalam sel akan keluar dan menguap bersama udara panas (Su­tanto, 2007), seperti tampak pada gambar di atas.

Energi untuk menggerakkan 4 kipas blower -total 20-40 watt- bisa diper­gunakan energi matahari (photovoltaic module) seperti tampak pada gambar di atas. Bisa juga dengan catu daya baterai rechargeable, baterai accu atau langsung dengan adaptor ke listrik PLN.

Cara penggunaan STD sangat mu­dah, tinggal membuka tutup pada area penge­ring­an (drying area) kemudian nampan pengering (tray) dimasukkan dan ditutup kembali. Tidak khawatir terkena hujan, Tidak perlu di bolak-balik karena panas mengalir merata pada seluruh permukaan bahan.

Dengan suhu pengeringan yang berkisar 70O-110OC STD memberikan efek pengeringan yang optimal. Ikan asin yang biasanya dikeringkan dengan matahari langsung -kisaran suhu siang antara 30-40OC- hingga 4-5 hari dengan STD dapat kering dalam waktu 1 hari. Kerupuk yang biasanya dijemur 3 hari dengan STD hanya memerlukan waktu 6 jam siang hari.

Lalu bagaimana kalau jika musim hujan? Apakah STD masih dapat bekerja? Jawabannya masih bisa. Dalam kondisi mendung biasa, masih ada cahaya ma­tahari -tidak hujan lebat dari pagi- STD masih bisa bekerja dengan menghasilkan panas 50O-75OC, karena STD bekerja menangkap panas matahari dengan dua cara yaitu konveksi dan radiasi. Kemudian memfokuskan panas tersebut dan menga­lirkan energi panas melintasi bahan yang dikeringan dalam terowongan secara terus-menerus dengan bantuan kipas blower. Rancangan STD tersebut berasal dari Jerman dimana pada negara subtropis intensitas cahaya matahari sangat minim. Dalam perkembangannya STD di Thailand dimodifikasi dengan pemanas dari batu­bara bercerobong, untuk memaksimalkan panas di musim penghujan.

Hal menarik untuk dijadikan referensi adalah pernyataan satu jurnal penelitian (Elicin, 2005), tentang keun­tungan pengeringan apel dengan menggunakan STD, dikemukakan bahwa, peng­gunaan temperatur tinggi dengan konveksi udara panas buatan pada proses pengeringan super cepat (rapid drying) untuk mem­buang air pada apel, dapat menyebabkan kerusakan serius atribut sensori be­rupa: rasa, warna dan nu­trisi. Dengan menggunakan metode pengeringan STD kerusakan-kerusakan atri­but sensori dapat dihindari. Diketahui pula bahwa pe­nge­ringan dengan dengan energi matahari (ultra violet/UV) memberikan manfaat lebih pada performa bahan yang dike­ringkan dan manfaat kesehatan karena dengan sinar UV akan lebih banyak mikroorganisme yang berhasil dimus­nahkan.

Ada baiknya kelompok-kelompok usaha kecil pengolahan pangan penge­ringan diberikan bantuan alat ini oleh pemerintah untuk meningkatkan kualitas produk pangan keringnya dan sebagai edukasi mengolah pangan secara higenis dan efisien. Apabila sudah terbukti manfaat STD ini pasti masyarakat secara swadaya membuat STD sendiri seperti di Thailand dan Vietnam. (*)

Penulis adalah mahasiswa Program Magister Teknologi Pangan Unika Sugijapranata dan bekerja sebagai Sekretaris Eksekutif, Yayasan Obor Tani.

DAFTAR PUSTAKA

Ananingsih, K. (2007). Modul Kuliah: Food Processing and Engineering. Teknologi Pengolahan Pangan, Unika Soegijapranata. Semarang.

Elicin, A.K. (2005). An Experimental Study for Solar Tunnel Drying of Apple.Universitas Ziraat Ankara. Turkey.

Fellow, P.J (2000). Food Processing Technology-Principles and Practice. Woodhead Publishing Limited. England.

Sutanto, F. (2007). Modul Kuliah: Small Scale Drying Technologies. Teknologi Pengolahan Pangan, Unika Soegijapranata. Semarang.

Buah Tropis Unggul yang Sukses Dibudidayakan di Indonesia (5)

11

Sirkaya Grand Anona, Sirkaya raksasa hasil introduksi dari Australia.

sirkaya